BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Tuesday, August 9, 2011

SEJARAH CIREBON


KESULTANAN CIREBON
 
KESULTANAN Cirebon merupakan kesultanan di pantai utara Jawa Barat dan kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Cirebon pada saat sekarang merupakan nama satu wilayah administrasi, ibu kota, dan kota. Nama Cirebon juga melekat pada nama bekas sebuah keresidenan yang meliputi kabupaten-kabupaten Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon.
Sumber-sumber naskah tentang Cirebon yang disusun oleh para keturunan kesultanan dan para pujangga kraton umumnya berasal dari akhir abad ke-17 sampai awal abad ke-18. Dari sumber naskah setempat, yang dianggap tertua adalah naskah yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta. Selain sumber setempat, terdapat pula sumber-sumber asing. Yang dianggap tertua berasal dari catatan Tome Pires -mengunjungi Cirebon pada tahun 1513-yang berjudul Suma Oriental.
Mengenai nama Cirebon terdapat dua pendapat. Babad setempat, seperti Nagarakertabumi (ditulis oleh Pangeran Wangsakerta), Purwaka Caruban Nagari (ditulis oleh Pangeran Arya Cerbon pada tahun 1720), dan Babad Cirebon (ditulis oleh Ki Martasiah pada akhir abad ke-1 menyebutkan bahwa kota Cirebon berasal dari kata ci dan rebon (udang kecil). Nama tersebut berkaitan dengan kegiatan para nelayan di Muara Jati, Dukuh Pasambangan, yaitu membuat terasi dari udang kecil (rebon). Adapun versi lain yang diambil dari Nagarakertabhumi menyatakan bahwa kata cirebon adalah perkembangan kata caruban yang berasal dari istilah sarumban yang berarti pusat percampuran penduduk.
Di Pasambangan terdapat sebuah pesantren yang bernama Gunung Jati yang dipimpin oleh Syekh Datu Kahfi (Syekh Nurul Jati). Di pesantren inilah Pangeran Walangsungsang (putra raja Pajajaran, Prabu Siliwangi) dan adiknya, Nyai Rara Santang, pertama kali mendapat pendidikan agama Islam.
Pada awal abad ke-16, Cirebon masih di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Pangeran Walangsungsang ditempatkan oleh raja Pajajaran sebagai juru labuhan di Cirebon. Ia bergelar Cakrabumi. Setelah cukup kuat, Walangsungsang memproklamasikan kemerdekaan Cirebon dan bergelar Cakrabuana. Ketika pemerintahannya telah kuat, Walangsungsang dan Nyai Rara Santang melaksanakan ibadah haji ke Mekah. Sepulang dari Mekah ia memindahkan pusat kerajaannya ke Lemahwungkuk. Di sanalah kemudian didirikan keraton baru yang dinamakannya Pakungwati.
Sumber-sumber setempat menganggap pendiri Cirebon adalah Walangsungsang, namun orang yang berhasil meningkatkan statusnya menjadi sebuah kesultanan adalah Syarif Hidayatullah yang oleh Babad Cirebon dikatakan identik dengan Sunan Gunung Jati (Wali Songo). Sumber ini juga mengatakan bahwa Sunan Gunung Jati adalah keponakan dan pengganti Pangeran Cakrabuana. Dialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten.
Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan Pajajaran yang belum menganut agama Islam. Ia mengembangkan agama ke daerah-daerah lain di Jawa Barat.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat (menurut Negarakertabhumi dan Purwaka Caruban Nagari tahun 1568), dia digantikan oleh cucunya yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Pada masa pemerintahannya, Cirebon berada di bawah pengaruh Mataram. Kendati demikian, hubungan kedua kesultanan itu selalu berada dalam suasana perdamaian. Kesultanan Cirebon tidak pernah mengadakan perlawanan terhadap Mataram. Pada tahun 1590, raja Mataram, Panembahan Senapati, membantu para pemimpin agama dan raja Cirebon untuk memperkuat tembok yang mengelilingi kota Cirebon. Mataram menganggap raja-raja Cirebon sebagai keturunan orang suci karena Cirebon lebih dahulu menerima Islam. Pada tahun 1636 Panembahan Ratu berkunjung ke Mataram sebagai penghormatan kepada Sultan Agung yang telah menguasai sebagian pulau Jawa.
Panembahan Ratu wafat pada tahun 1650 dan digantikan oleh putranya yang bergelar Panembahan Girilaya. Keutuhan Cirebon sebagai satu kerajaan hanya sampai pada masa Pnembahan Girilaya (1650-1662). Sepeninggalnya, sesuai dengan kehendaknya sendiri, Cirebon diperintah oleh dua putranya, Martawijaya (Panembahan Sepuh) dan Kartawijaya (Panembahan Anom). Panembahan Sepuh memimpin kesultanan Kasepuhan dengan gelar Syamsuddin, sementara Panembahan Anom memimpin Kesultanan Kanoman dengan gelar Badruddin. Saudara mereka, Wangsakerta, mendapat tanah seribu cacah (ukuran tanah sesuai dengan jumlah rumah tangga yang merupakan sumber tenaga).
Perpecahan tersebut menyebabkan kedudukan Kesultanan Cirebon menjadi lemah sehingga pada tahun 1681 kedua kesultanan menjadi proteksi VOC. Bahkan pada waktu Panembahan Sepuh meninggal dunia (1697), terjadi perebutan kekuasaan di antara kedua putranya. Keadaan demikian mengakibatkan kedudukan VOC semakin kokoh. Dalam Perjanjian Kertasura 1705 antara Mataram dan VOC disebutkan bahwa Cirebon berada di bawah pengawasan langsung VOC.
Walaupun demikian kemunduran politik itu ternyata sama sekali tidak mengurangi wibawa Cirebon sebagai pusat keagamaan di Jawa Barat. Peranan historis keagamaan yang dijalankan Sunan Gunung Jati tak pernah hilang dalam kenangan masyarakat. Pendidikan keagamaan di Cirebon terus berkembang. Pada abad ke-17 dan ke-18 di keraton-keraton Cirebon berkembang kegiatan-kegiatan sastra yang sangat memikat perhatian. Hal ini antara lain terbukti dari kegiatan karang-mengarang suluk, nyanyian keagamaan Islam yang bercorak mistik. Di samping itu, pesantren-pesantren yang pada masa awal Islam berkembang di daerah pesisir pulau Jawa hanya bertahan di Cirebon; selebihnya mengalami kemunduran atau pindah ke pedalaman.
Keraton para keturunan Sunan Gunung Jati tetap dipertahankan di bawah kekuasaan dan pengaruh pemerintah Hindia Belanda. Kesultanan itu bahkan masih dipertahankan sampai sekarang. Meskipun tidak memiliki pemerintahan administratif, mereka tetap meneruskan tradisi Kesultanan Cirebon. Misalnya, melaksanakan Panjang Jimat (peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw) dan memelihara makam leluhurnya Sunan Gunung Jati.***
 
KESULTANAN  BANTEN (1568-1813)

KESULTANAN yang pada masa jayanya meliputi daerah yang sekarang dikenal dengan daerah Serang, Pandeglang, Lebak, dan Tangerang. Sejak abad ke-16 sampai abad ke-19 Banten mempunyai arti dan peranan yang penting dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Nusantara, khususnya di daerah Jawa Barat, Jakarta, Lampung, dan Sumatra Selatan. Kota Banten terletak di pesisir Selat Sunda dan merupakan pintu gerbang lintas pulau Sumatra dan Jawa. Posisi Banten yang sangat strategis ini menarik perhatian penguasa di Demak untuk menguasainya. Pada tahun 1525-1526 Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati berhasi menguasai Banten.
 
Sebelum Banten berwujud sebagai suatu kesultanan, wilayah ini termasuk bagian dari kerajaan Sunda (Pajajaran). Agama resmi kerajaan ketika itu adalah agama Hindu. Pada awal abad ke-16, yang berkuasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umum dengan pusat pemerintahan Kadipaten di Banten Girang (Banten Hulu). Surosowan (Banten Lor) hanya berfungsi sebagai pelabuhan. Menurut berita Joade Barros (1516), salah seorang pelaut Portugis, di antara pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang besar dan ramai dikunjungi pedagang-pedagang dalam dan luar negri. Dari sanalah sebagian lada dan hasil negri lainnya diekspor. Oleh karena itu, Banten pada masa lalu adalah potret sebuah kota metropolitan dan menjadi pusat perkembangan pemerintahan Kesultanan Banten yang sempat mengalami masa keemasan selama kurang lebih tiga abad.
Menurut Babad Pajajaran, proses awal masuknya Islam di Banten mulai ketika Prabu Siliwangi, salah seorang raja Pajajaran, sering melihat cahaya yang menya-nyala di langit. Untuk mencari keterangan tentang arti cahaya itu, ia mengutus Prabu Kian Santang, penasihat kerajaan Pajajaran, untuk mencari berita mengenai hal ini. Akhirnya Prabu Kian Santang sampai ke Mekah. Di sana ia memperoleh berita bahwa cahaya yang dimaksud adalah nur Islam dan cahaya kenabian. Ia kemudian memluk agama Islam dan kembali ke Pajajaran untuk mengislamkan masyarakat. Upaya yang dilakukan Kian Santang hanya berhasil mengislamkan sebagian masyarakat, sedangkan yang lainnya menyingkirkan diri. Akibatnya, Pajajaran menjadi berantakan. Legenda yang dituturkan dalam Babad Pajajaran ini merupakan sebuah refleksi akan adanya pergeseran kekuasaan dari raja pra-Islam kepada penguasa baru Islam.
Sumber lain menyebutkan bahwa ketika Raden Trenggono dinobatkan sebagai sultan Demak yang ketiga (1524) dengan gelar Sultan Trenggono, ia semakin gigih berupaya menghancurkan Portugis di Nusantara. Di lain pihak, Pajajaran justeru menjalin perjanjian persahabatan dengan Portugis sehingga mendorong hasrat Sultan Trenggono untuk segera menghancurkan Pajajaran. Untuk itu, ia menugaskan Fatahillah, panglima perang Demak, menyerbu Banten (bagian dari wilayah Pajajaran) bersama dua ribu pasukannya. Dalam perjalanan menuju Banten, mereka singgah untuk menemui mertuanya, Syarif Hidayatullah, di Cirebon. Pasukan Demak dan pasukan Cirebon bergabung menuju Banten di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Fatahillah, Dipati Keling, dan Dipati Cangkuang . Sementara itu, di Banten sendiri terjadi pemberontakan di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin melawan penguasa Pajajaran.
 
Gabungan pasukan Demak dengan Cirebon bersama laskar-marinir Maulana Hasanuddin tidak banyak mengalami kesulitan dalam menguasai Banten. Dengan demikian, pada tahun 1526 Maulana Hasanud din dan Syarif Hidayatullah berhasil merebut Banten dari Pajajaran. Pusat pemerintahan yang semula berkedudukan di Banten Girang dipindahkan ke Surosowan, dekat pantai. Dilihat dari sudut ekonomi dan politik, pemindahan pusat pemerintahan ini dimaksudkan untuk memudahkan hubungan antara pesisir Sumatra sebelah barat melalui Selat Sunda dan Selat Malaka. Situasi ini berkaitan pula dengan situasi dan kondisi politik di Asia Tenggara. Pada masa itu, Malaka telah jatuh di bawah kekuasaan Portugis, sehingga pedagang-pedagang yang enggan berhubungan dengan Portugis mengalihkan jalur perdagangannya ke Selat Sunda. Sejak saat itulah semakin ramai kapal-kapal dagang mengunjungi Banten. Kota Surosowan (Banten Lor) didirikan sebagai ibu kota Kesultanan Banten atas petunjuk Syarif Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi sultan Banten yang pertama.
Atas petunjuk Sultan Demak, pada tahun 1526 Maulana Hasanuddin diangkat sebagai bupati Kadipaten Banten. Pada tahun 1552 Kadipaten Banten diubah menjadi negara bagian Demak dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sultannya. Ketika Kesultanan Demak runtuh dan diganti Pajang (1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten menjadi negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak.

Sultan Maulana Hasanuddin memerintah Banten selama 18 tahun (1552-1570). Ia telah memberikan andil terbesarnya dalam meletakkan fondasi Islam di Nusantara sebagai salah seorang pendiri Kesultanan Banten. Hal ini telah dibuktikan dengan kehadiran bangunan peribadatan berupa masjid dan sarana pendidikan islam seperti pesnatren. Di samping itu, ia juga mengirim mubaligh ke berbagai daerah yang telah dikuasainya.
Usaha yang telah dirintis oleh Sultan Maulana Hasanuddin dalam menyebarluaskan Islam dan membangun Kesultanan Banten kemudian dilanjutkan oleh sultan-sultan berikutnya. Akan tetapi, pada masa Sultan Ageng Tirtayasa, Kesultanan Banten mengalami kehancuran akibat ulah anak kandungnya sendiri, yaitu Sultan Haji, yang bekerjasama dengan kompeni Belanda. Ketika itu Sultan Haji diserahi amanah oleh ayahnya sebagai Sultan Muda yang berkedudukan di Surosowan. Akibat kerjasama kompeni Belanda dengan Sultan Haji, akhirnya terjadilah perang dahsyat antara Banten dan kompeni Belanda. Perang berakhir dengan hancurnya Keraton Surosowan yang pertama.
Meskipun keraton tersebut dibangun kembali oleh Sultan Haji melalui seorang arsitek Belanda dengan megahnya, namun pemberontakan demi pemberontakan dari rakyat Banten tidak pernah surut. Sultan Ageng Tirtayasa memimpin Perang gerilya bersama anaknya, Pangeran Purbaya, dan Syekh Yusuf, seorang ulama dari Makassar dan sekaligus menantunya. Sejak itu, Kesultanan Banten tidak pernah sepi dari peperangan dan pemberontakan melawan kompeni hingga akhirnya Keraton Surosowan hancur untuk yang kedua kalinya pada masa Sultan Aliuddin II Herman Willem Daendels . (1803-1808). Ketika itu ia melawan
Setelah Kesultanan Banten dihapus oleh Belanda, perjuangan melawan penjajah dilanjutkan oleh rakyat Banten yang dipimpin oleh para ulama dengan menggelorakan semangat perang sabil. Keadaan ini berlangsung sampai Negara Republik Indonesia KH Wasyid (w. 28 Juli 188 dan “Pemberontakan Petani Banten” pada tahun 1888. diproklamasikan kemerdekannya. Hal ini terlihat dari berbagai pemberontakan yang dipimpin oleh para kiai dan didukung oleh rakyat, antara lain peristiwa “Geger Cilegon” pada tahun 1886 di bawah pimpinan
Keberadaan dan kejayaan kesultanan Banten pada masa lalu dapat dilihat dari peninggalan sejarah seperti Masjid Agung Banten yang didirikan pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin . Seperti masjid-masjid lainnya, bangunan masjid ini pun berdenah segi empat, namun kelihatan antik dan unik. Bila diamati secara jelas, arsitekturnya merupakan perpaduan antara arsitektur asing dan Jawa. Hal ini dapat dilihat dari tiang penyangga bangunan yang jumlahnya empat buah di bagian tengah; mimbar kuno yang berukir indah; atap masjid yang terbuat dari genteng tanah liat, melingkar berbetuk bujur sangkar yang disebut kubah berupa atap tumpang bertingkat lima. Di dalam serambi kiri yang terletak di sebelah utara masjid terdapat makam beberapa sultan Banten beserta keluarga dan kerabatnya. Di halaman selatan masjid terdapat bangunan Tiamah, merupakan bangunan tambahan yang didirikan oleh Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memluk agama Islam dengan gelar Pangeran Wiraguna . Dahulu, gedung Tiamah ini digunakan sebagai majelis taklim serta tempat para ulama dan umara Banten mendiskusikan soal-soal agama. Sekarang gedung tersebut digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda purbakala. Selain itu, di Kasunyatan terdapat pula Masjid Kasunyatan yang umurnya lebih tua dari Masjid Agung. Di masjid inilah tinggal dan mengajar Kiai Dukuh yang kemudian bergelar Pangeran Kasunyatan, guru Maulana Yusuf, sultan Banten yang kedua.
 
Bangunan lain yang membuktikan keberadaan Kesultanan Banten masa lampau adalah bekas Keraton Surosowan atau gedung kedaton Pakuwan. Letaknya berdekatan dengan Masjid Agung Banten. Keraton Surosowan yang hanya tinggal puing-puing dikelilingi oleh tembok tembok yang tebal, luasnya kurang lebih 4 ha, berbentuk empat persegi panjang. Benteng tersebut sekarang masih tegak berdiri, di samping beberapa bagian kecil yang telah runtuh. Dalam situs (lahan) kepurbakalaan Banten masih ada beberapa unsur, antara lain Menara Banten, Masjid Pacinan, Benteng Speelwijk, Meriam Kiamuk, Watu Gilang dan pelabuhan perahu Karangantu

 
Penulis sengaja menulis tentang sejarah cirebon karena memang penulis sendiri berasal dari salah satu desa di kabupaten cirebon. Penulis hanya sekedar sharing, berbagi pengetahuan kepada rekan-rekan tentang sejarah cirebon.
Mengawali cerita sejarah ini sebagai Purwadaksina, Purwa Kawitan Daksina Kawekasan, tersebutlah kerajaan besar di kawasan barat pulau Jawa PAKUAN PAJAJARAN yang Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi Subur Kang Sarwa Tinandur Murah Kang Sarwa Tinuku, Kaloka Murah Sandang Pangan Lan Aman Tentrem Kawontenanipun. Dengan Rajanya JAYA DEWATA bergelar SRI BADUGA MAHARAJA PRABU SILIWANGI Raja Agung, Punjuling Papak, Ugi Sakti Madraguna, Teguh Totosane Bojona Kulit Mboten Tedas Tapak Paluneng Pande, Dihormati, disanjung Puja rakyatnya dan disegani oleh lawan-lawannya.
Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api.
Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.
Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.
Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati. Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.
Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga.
Syarif Hiyatullah
Syarif Hiyatullah
Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)
Setelah Suna Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati.
Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggal Dwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon.


Mengenang Sejarah Cirebon Lewat Malam 1 Suro


undefined 
 
CIREBON - Tahun baru Islam 1 Muharam 1431 H bagi Keraton Kanoman adalah hari yang bermakna. Keraton Kanoman pun menggelar pembacaan Babad Cirebon (Sejarah Cirebon) lengkap dengan serangkaian prosesinya untuk memperingati malam satu suro.

Peringatan malam 1 suro yang digelar keluarga dan kerabat Keraton Kanoman, Jumat malam, 18 Desember kemarin dimulai dengan ziarah ke Makam Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon.

Serasa kembali ke masa kerajaan dulu, dengan menaiki replika kereta Paksi Nagaliman (kereta yang kerap di gunakan Sunan Gunung Jati pada masa kejayaannya), Pangeran Raja Muhammad Emiruddin, diiringi para kerabat, keluarga, serta para abdi keraton yang mengawal dengan berjalan kaki mengarak kereta ke area pemakanan Sunan Gunung Jati.

”Tahun-tahun sebelumnya, memang tidak ada kegiatan ziarah kemakam Gunung Jati. Namun, pada tahun ini, kami mencoba mengembalikan tradisi yang pernah dilakukan pada leluhur kami,”papar juru bicara keraton Kanoman, Ratu Arimbi saat ditemui disela kegiatan.

Menurut Arimbi, ziarah dimaksudkan untuk doa bersama agar seluruh penerus keluarga Keraton di berikan keselamatan pada tahun mendatang. Tak lupa, dalam prosesi ini juga turut mendoakan keselamatan negara dari berbagai bencana dan cobaan.

Sebelum berziarah, Keraton menggelar pembacaan Babad Cirebon. Prosesi ini dilakukan Pangeran Kumisi atau seorang pejabat berpangkat satu tingkat dibawah Patih didampingi tujuh orang Panca Pitu (abdi dalem keraton yang selalu mengiringi setiap ritual) serta tujuh orang penghulu Masjid Agung Kasepuhan.

Beberapa tahun lalu, pembacaan Babad Cirebon kerap di gelar di Bangsal Witana yang berada di bagian belakang keraton. Konon, bangsal ini merupakan bangunan pertama yang berdiri di Cirebon. Namun, lima tahun ini pembacaan babad Cirebon di gelar di bagian tengah keraton yakni di Bangsal Made Mastaka yang dulu dijadikan sebagai singasana raja.

”Pembacaan babad Cirebon dialihkan ke Bangsal Made Mastaka sekitar 4 tahun lalu. Ini dilakukan setelah pemerintah kota Cirebon mengikuti kegiatan ini yang bertepatan dengan ulang tahun kota Cirebon,”papar Arimbi.

Prosesi pembacaan Babad Cirebon, terasa sakral saat pangeran kumisi memasuki Bangsal Made Mastaka. Dengan didampingi tujuh orang Panca Pitu dan tujuh orang penghulu Masjid Agung Kasepuhan, yang membawa empat lilin besar sebagai penerang prosesi pembacaan.

Prosesi ini pun dihadiri seluruh Muspida Kota Cirebon, serta para tamu undangan, dan ratusan masyarakat Cirebon yang sengaja ingin menyaksikan prosesi pembacaab Babad.

Babad Cirebon dikutip dari kitab Purwaka Caruban Nagari yang ditulis Wangsa Kerta pada tahun 1669. Kitab berbahasa Cirebon kuno ini, menceritakan tentang asal-usul Cirebon dan kisah pendiri Keraton Kanoman dan sedikit menyinggung keberadaan Keraton Kasepuhan, Kacirebon dan Keprabonan.

Pangeran Walangsungsang dan Ratu Mas Rarasantang yang merupakan putra-putri Prabu Siliwangi, bermaksud ingin mempelajari agama islam. Pengembaraan keduanya hingga masuk ke Pesisir utara pulau Jawa. Mereka menemui sejumlah ulama islam. Kisah perjalanan paman dan ibu Sunan Gunung Jati hingga membuka sebuah padepokan bernama Caruban atau Cirebon, menjadi pokok cerita dalam tradisi pembacaan babad Cirebon ini.

Tamu undangan dan masyarakat yang menghadiri acara tersebut, tidak seluruhnya dapat masuk kedalam bangsal. Namun, pihak keraton memfasilitasi mereka dengan memasang layar lebar tepat di bagian depan keraton.
 

0 comments: